Kumpulan SAJAK dan PUISI karya sastra PUJANGGA Tanah air

>> Desember 09, 2009

                                              PUISI KARYA WS RENDRA:




1.Puisi DO'A ORANG LAPAR.

Kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam
Allah !

burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin
Kelaparan adalah batu-batu karang

di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan
Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu

melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran
Allah !

kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin
Allah !

kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca
Allah !

betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam
Allah !

kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga Mu
WS Rendra

DARI KUMPULAN PUISI “SAJAK – SAJAK SEPATU TUA” ( PUSTAKA JAYA – 1995 )
2. Puisi "Pesan Pencopet pada pacarnya.  
Sitti,
kini aku makin ngerti keadaanmu
Tak ‘kan lagi aku membujukmu
untuk nikah padaku
dan lari dari lelaki yang miaramu
Nasibmu sudah lumayan

Dari babu dari selir kepala jawatan
Apalagi?
Nikah padaku merusak keberuntungan
Masa depanku terang repot
Sebagai copet nasibku untung-untungan
Ini bukan ngesah
Tapi aku memang bukan bapak yang baik
untuk bayi yang lagi kau kandung
Cintamu padaku tak pernah kusangsikan

Tapi cinta cuma nomor dua
Nomor satu carilah keslametan
Hati kita mesti ikhlas
berjuang untuk masa depan anakmu
Janganlah tangguh-tangguh menipu lelakimu
Kuraslah hartanya
Supaya hidupmu nanti sentosa
Sebagai kepala jawatan lelakimu normal
suka disogok dan suka korupsi
Bila ia ganti kau tipu
itu sudah jamaknya
Maling menipu maling itu biasa
Lagi pula
di masyarakat maling kehormatan cuma gincu
Yang utama kelicinan
Nomor dua keberanian
Nomor tiga keuletan
Nomor empat ketegasan, biarpun dalam berdusta
Inilah ilmu hidup masyarakat maling
Jadi janganlah ragu-ragu
Rakyat kecil tak bisa ngalah melulu
Usahakan selalu menanjak kedudukanmu

Usahakan kenal satu menteri
dan usahakan jadi selirnya
Sambil jadi selir menteri
tetaplah jadi selir lelaki yang lama
Kalau ia menolak kau rangkap
sebagaimana ia telah merangkapmu dengan isterinya
itu berarti ia tak tahu diri
Lalu depak saja dia
Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan
asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya
Ini selalu menarik seorang menteri
Ngomongmu ngawur tak jadi apa
asal bersemangat, tegas, dan penuh keyakinan
Kerna begitulah cermin seorang menteri
Akhirnya aku berharap untuk anakmu nanti

Siang malam jagalah ia
Kemungkinan besar dia lelaki
Ajarlah berkelahi
dan jangan boleh ragu-ragu memukul dari belakang
Jangan boleh menilai orang dari wataknya
Sebab hanya ada dua nilai: kawan atau lawan
Kawan bisa baik sementara
Sedang lawan selamanya jahat nilainya
Ia harus diganyang sampai sirna
Inilah hakikat ilmu selamat
Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi
Jangan boleh ia nanti jadi propesor atau guru
itu celaka, uangnya tak ada
Kalau bisa ia nanti jadi polisi atau tentara
supaya tak usah beli beras
kerna dapat dari negara
Dan dengan pakaian seragam
dinas atau tak dinas
haknya selalu utama
Bila ia nanti fasih merayu seperti kamu
dan wataknya licik seperti saya–nah!
Ini kombinasi sempurna
Artinya ia berbakat masuk politik
Siapa tahu ia bakal jadi anggota parlemen
Atau bahkan jadi menteri
Paling tidak hidupnya bakal sukses di Jakarta
Rendra

Dari buku Sajak-Sajak Sepatu Tua, Pustaka Jaya, Jakarta, 1972.
3. Puisi "Bersatulah pelacur-pelacur kota Jakarta.

Pelacur-pelacur Kota Jakarta


Dari kelas tinggi dan kelas rendah


Telah diganyang


Telah haru-biru


Mereka kecut


Keder


Terhina dan tersipu-sipu
Sesalkan mana yang mesti kausesalkan


Tapi jangan kau lewat putus asa


Dan kaurelakan dirimu dibikin korban
Wahai pelacur-pelacur kota Jakarta


Sekarang bangkitlah


Sanggul kembali rambutmu


Karena setelah menyesal


Datanglah kini giliranmu


Bukan untuk membela diri melulu


Tapi untuk lancarkan serangan


Karena


Sesalkan mana yang mesti kau sesalkan


Tapi jangan kaurela dibikin korban
Sarinah


Katakan kepada mereka


Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri


Bagaimana ia bicara panjang lebar kepadamu


Tentang perjuangan nusa bangsa


Dan tiba-tiba tanpa ujung pangkal


Ia sebut kau inspirasi revolusi


Sambil ia buka kutangmu
Dan kau Dasima


Khabarkan pada rakyat


Bagaimana para pemimpin revolusi


Secara bergiliran memelukmu


Bicara tentang kemakmuran rakyat dan api revolusi


Sambil celananya basah


Dan tubuhnya lemas


Terkapai disampingmu


Ototnya keburu tak berdaya
Politisi dan pegawai tinggi


Adalah caluk yang rapi


Kongres-kongres dan konferensi


Tak pernah berjalan tanpa kalian


Kalian tak pernah bisa bilang ‘tidak’


Lantaran kelaparan yang menakutkan


Kemiskinan yang mengekang


Dan telah lama sia-sia cari kerja


Ijazah sekolah tanpa guna


Para kepala jawatan


Akan membuka kesempatan


Kalau kau membuka kesempatan


Kalau kau membuka paha


Sedang diluar pemerintahan


Perusahaan-perusahaan macet


Lapangan kerja tak ada


Revolusi para pemimpin


Adalah revolusi dewa-dewa


Mereka berjuang untuk syurga


Dan tidak untuk bumi


Revolusi dewa-dewa


Tak pernah menghasilkan


Lebih banyak lapangan kerja


Bagi rakyatnya


Kalian adalah sebahagian kaum penganggur yang mereka ciptakan


Namun


Sesalkan mana yang kau kausesalkan


Tapi jangan kau lewat putus asa


Dan kau rela dibikin korban


Pelacur-pelacur kota Jakarta


Berhentilah tersipu-sipu


Ketika kubaca di koran


Bagaimana badut-badut mengganyang kalian


Menuduh kalian sumber bencana negara


Aku jadi murka


Kalian adalah temanku


Ini tak bisa dibiarkan


Astaga


Mulut-mulut badut


Mulut-mulut yang latah bahkan seks mereka politikkan
Saudari-saudariku


Membubarkan kalian


Tidak semudah membubarkan partai politik


Mereka harus beri kalian kerja


Mereka harus pulihkan darjat kalian


Mereka harus ikut memikul kesalahan
Saudari-saudariku. Bersatulah


Ambillah galah


Kibarkan kutang-kutangmu dihujungnya


Araklah keliling kota


Sebagai panji yang telah mereka nodai


Kinilah giliranmu menuntut


Katakanlah kepada mereka


Menganjurkan mengganyang pelacuran


Tanpa menganjurkan


Mengahwini para bekas pelacur


Adalah omong kosong
Pelacur-pelacur kota Jakarta


Saudari-saudariku


Jangan melulur keder pada lelaki


Dengan mudah


Kalian bisa telanjangi kaum palsu


Naikkan tarifmu dua kali


Dan mereka akan klabakan


Mogoklah satu bulan


Dan mereka akan puyeng


Lalu mereka akan berzina


Dengan isteri saudaranya.
4.  PUISI DOA DI JAKARTA – WS RENDRA

Tuhan yang Maha Esa,


alangkah tegangnya


melihat hidup yang tergadai,


fikiran yang dipabrikkan,


dan masyarakat yang diternakkan.
Malam rebah dalam udara yang kotor.


Di manakah harapan akan dikaitkan


bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan?


Dendam diasah di kolong yang basah


siap untuk terseret dalam gelombang edan.


Perkelahian dalam hidup sehari-hari


telah menjadi kewajaran.


Pepatah dan petitih


tak akan menyelesaikan masalah


bagi hidup yang bosan,


terpenjara, tanpa jendela.
Tuhan yang Maha Faham,


alangkah tak masuk akal


jarak selangkah


yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh,


yang memisahkan


sebuah halaman bertaman tanaman hias


dengan rumah-rumah tanpa sumur dan W.C.


Hati manusia telah menjadi acuh,


panser yang angkuh,


traktor yang dendam.
Tuhan yang Maha Rahman,


ketika air mata menjadi gombal,


dan kata-kata menjadi lumpur becek,


aku menoleh ke utara dan ke selatan -


di manakah Kamu?


Di manakah tabungan keramik untuk wang logam?


Di manakah catatan belanja harian?


Di manakah peradaban?


Ya, Tuhan yang Maha Hakim,


harapan kosong, optimisme hampa.


Hanya akal sihat dan daya hidup


menjadi peganganku yang nyata.
Ibumu mempunyai hak yang sekiranya kamu mengetahui tentu itu besar sekali


Kebaikanmu yang banyak ini


Sungguh di sisi-Nya masih sedikit


Berapa banyak malam yang ia gunakan mengaduh karena menanggung bebanmu


Dalam pelayanannya ia menanggung rintih dan nafas panjang


Ketika melahirkan andai kamu mengetahui keletihan yang ditanggungnya


Dari balik sumbatan kerongkongannya hatinya terbang


Berapa banyak ia membasuh sakitmu dengan tangannya


Pangkuannya bagimu adalah sebuah ranjang


Sesuatu yang kamu keluhkan selalu ditebusnya dengan dirinya


Dari susunya keluarlah minuman yang sangat enak buatmu


Berapa kali ia lapar dan ia memberikan makanannya kepadamu


Dengan belas kasih dan kasih sayang saat kamu masih kecil


Aneh orang yang berakal tapi masih mengikuti hawa nafsunya


Aneh orang yang buta mata hatinya sementara matanya melihat


Wujudkan cintaimu dengan memberikan doamu yang setulusnya pada ibumu


Karena kamu sangat membutuhkan doanya padamu
WS Rendra
5. Kupanggil Namamu WS Rendra
Sambil menyeberangi sepi,
Kupanggili namamu, wanitaku
Apakah kau tak mendengar?
Malam yang berkeluh kesah

Memeluk jiwaku yang payah
Yang resah
Karena memberontak terhadap rumah
Memberontak terhadap adat yang latah
dan akhirnya tergoda cakrawala
Sia-sia kucari pancaran matamu

Ingin kuingat lagi bau tubuhmu yang kini sudah kulupa
Sia-sia
Tak ada yang bisa kucamkan
Sempurnalah kesepianku
Angin pemberontakan menyerang langit dan bumi

Dan duabelas ekor serigala
Muncul dari masa silamku
Merobek-robek hatiku yang celaka
Berulangkali kupanggil namamu

Dimanakah engkau wanitaku?
Apakah engkau sudah menjadi masa silamku?
WS Rendra
6.  Sajak Gadis Dan Majikan – WS Rendra

Janganlah tuan seenaknya memelukku.


Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu.


Aku bukan ahli ilmu menduga,


tetapi jelas sudah kutahu


pelukan ini apa artinya…..


Siallah pendidikan yang aku terima.


Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing,


kerapian, dan tatacara,


Tetapi lupa diajarkan :


bila dipeluk majikan dari belakang,


lalu sikapku bagaimana !
Janganlah tuan seenaknya memelukku.


Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu.


Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu,


Ketika tuan siku teteku,


sudah kutahu apa artinya……
Mereka ajarkan aku membenci dosa


tetapi lupa mereka ajarkan


bagaimana mencari kerja.


Mereka ajarkan aku gaya hidup


yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan.


Diajarkan aku membutuhkan


peralatan yang dihasilkan majikan,


dan dikuasai para majikan.


Alat-alat rias, mesin pendingin,


vitamin sintetis, tonikum,


segala macam soda, dan ijazah sekolah.


Pendidikan membuatku terikat


pada pasar mereka, pada modal mereka.
Dan kini, setelah aku dewasa.


Kemana lagi aku ‘kan lari,


bila tidak ke dunia majikan ?
Jangnlah tuan seenaknya memelukku.


Aku bukan cendekiawan


tetapi aku cukup tahu


semua kerja di mejaku


akan ke sana arahnya.


Jangan tuan, jangan !


Jangan seenaknya memelukku.


Ah, Wah .


Uang yang tuan selipkan ke behaku


adalah ijazah pendidikanku


Ah, Ya.


Begitulah.


Dengan yakin tuan memelukku.


Perut tuan yang buncit


menekan perutku.


Mulut tuan yang buruk


mencium mulutku.


Sebagai suatu kewajaran


semuanya tuan lakukan.


Seluruh anggota masyarakat membantu tuan.


Mereka pegang kedua kakiku.


Mereka tarik pahaku mengangkang.


Sementara tuan naik ke atas tubuhku.
7.   NYANYIAN ANGSA  karya W.S Rendra
Majikan rumah pelacuran berkata kepadanya:
“Sudah dua minggu kamu berbaring.
Sakitmu makin menjadi.
Kamu tak lagi hasilkan uang.
Malahan kapadaku kamu berhutang.
Ini beaya melulu.
Aku tak kuat lagi.
Hari ini kamu harus pergi.”
(Malaikat penjaga Firdaus.

Wajahnya tegas dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Maka darahku terus beku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua).
Jam dua-belas siang hari.

Matahari terik di tengah langit.
Tak ada angin. Tak mega.
Maria Zaitun ke luar rumah pelacuran.
Tanpa koper.
Tak ada lagi miliknya.
Teman-temannya membuang muka.
Sempoyongan ia berjalan.
Badannya demam.
Sipilis membakar tubuhnya.
Penuh borok di klangkang
di leher, di ketiak, dan di susunya.
Matanya merah. Bibirnya kering. Gusinya berdarah.
Sakit jantungnya kambuh pula.
Ia pergi kepada dokter.
Banyak pasien lebih dulu menunggu.
Ia duduk di antara mereka.
Tiba-tiba orang-orang menyingkir dan menutup hidung mereka.
Ia meledak marah
tapi buru-buru jururawat menariknya.
Ia diberi giliran lebih dulu
dan tak ada orang memprotesnya.
“Maria Zaitun,
utangmu sudah banyak padaku,” kata dokter.
“Ya,” jawabnya.
“Sekarang uangmu brapa?”
“Tak ada.”
Dokter geleng kepala dan menyuruhnya telanjang.
Ia kesakitan waktu membuka baju
sebab bajunya lekat di borok ketiaknya.
“Cukup,” kata dokter.
Dan ia tak jadi mriksa.
Lalu ia berbisik kepada jururawat:
“Kasih ia injeksi vitamin C.”
Dengan kaget jururawat berbisik kembali:
“Vitamin C?
Dokter, paling tidak ia perlu Salvarzan.”
“Untuk apa?
Ia tak bisa bayar.
Dan lagi sudah jelas ia hampir mati.
Kenapa mesti dikasih obat mahal
yang diimport dari luar negri?”
(Malaikat penjaga Firdaus.

Wajahnya iri dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku gemetar ketakutan.
Hilang rasa. Hilang pikirku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang takut dan celaka.)
Jam satu siang.

Matahari masih dipuncak.
Maria Zaitun berjalan tanpa sepatu.
Dan aspal jalan yang jelek mutunya
lumer di bawah kakinya.
Ia berjalan menuju gereja.
Pintu gereja telah dikunci.
Karna kuatir akan pencuri.
Ia menuju pastoran dan menekan bel pintu.
Koster ke luar dan berkata:
“Kamu mau apa?
Pastor sedang makan siang.
Dan ini bukan jam bicara.”
“Maaf. Saya sakit. Ini perlu.”
Koster meneliti tubuhnya yang kotor dan berbau.
Lalu berkata:
“Asal tinggal di luar, kamu boleh tunggu.
Aku lihat apa pastor mau terima kamu.”
Lalu koster pergi menutup pintu.
Ia menunggu sambil blingsatan dan kepanasan.
Ada satu jam baru pastor datang kepadanya.
Setelah mengorek sisa makanan dari giginya
ia nyalakan crutu, lalu bertanya:
“Kamu perlu apa?”
Bau anggur dari mulutnya.
Selopnya dari kulit buaya.
Maria Zaitun menjawabnya:
“Mau mengaku dosa.”
“Tapi ini bukan jam bicara.
Ini waktu saya untuk berdo’a.”
“Saya mau mati.”
“Kamu sakit?”
“Ya. Saya kena rajasinga.”
Mendengar ini pastor mundur dua tindak.
Mukanya mungkret.
Akhirnya agak keder ia kembali bersuara:
“Apa kamu – mm – kupu-kupu malam?”
“Saya pelacur. Ya.”
“Santo Petrus! Tapi kamu Katolik!”
“Ya.”
“Santo Petrus!”
Tiga detik tanpa suara.
Matahari terus menyala.
Lalu pastor kembali bersuara:
“Kamu telah tergoda dosa.”
“Tidak tergoda. Tapi melulu berdosa.”
“Kamu telah terbujuk setan.”
“Tidak. Saya terdesak kemiskinan.
Dan gagal mencari kerja.”
“Santo Petrus!”
“Santo Petrus! Pater, dengarkan saya.
Saya tak butuh tahu asal usul dosa saya.
Yang nyata hidup saya sudah gagal.
Jiwa saya kalut.
Dan saya mau mati.
Sekarang saya takut sekali.
Saya perlu Tuhan atau apa saja
untuk menemani saya.”
Dan muka pastor menjadi merah padam.
Ia menuding Maria Zaitun.
“Kamu galak seperti macan betina.
Barangkali kamu akan gila.
Tapi tak akan mati.
Kamu tak perlu pastor.
Kamu perlu dokter jiwa.”
(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya sombong dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Aku lesu tak berdaya.
Tak bisa nangis. Tak bisa bersuara.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang lapar dan dahaga.)
Jam tiga siang.

Matahari terus menyala.
Dan angin tetap tak ada.
Maria Zaitun bersijingkat
di atas jalan yang terbakar.
Tiba-tiba ketika nyebrang jalan
ia kepleset kotoran anjing.
Ia tak jatuh
tapi darah keluar dari borok di klangkangnya
dan meleleh ke kakinya.
Seperti sapi tengah melahirkan
ia berjalan sambil mengangkang.
Di dekat pasar ia berhenti.
Pandangnya berkunang-kunang.
Napasnya pendek-pendek. Ia merasa lapar.
Orang-orang pergi menghindar.
Lalu ia berjalan ke belakang satu retoran.
Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan.
Kemudian ia bungkus hati-hati
dengan daun pisang.
Lalu berjalan menuju ke luar kota.
(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya dingin dan dengki
dengan pedang yang menyala
menuding kepadaku.
Yang Mulya, dengarkanlah aku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur lemah, gemetar ketakutan.)
Jam empat siang.

Seperti siput ia berjalan.
Bungkusan sisa makanan masih di tangan
belum lagi dimakan.
Keringatnya bercucuran.
Rambutnya jadi tipis.
Mukanya kurus dan hijau
seperti jeruk yang kering.
Lalu jam lima.
Ia sampai di luar kota.
Jalan tak lagi beraspal
tapi debu melulu.
Ia memandang matahari
dan pelan berkata: “Bedebah.”
Sesudah berjalan satu kilo lagi
ia tinggalkan jalan raya
dan berbelok masuk sawah
berjalan di pematang.
(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya tampan dan dengki
dengan pedang yang menyala
mengusirku pergi.
Dan dengan rasa jijik
ia tusukkan pedangnya perkasa
di antara kelangkangku.
Dengarkan, Yang Mulya.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang kalah.
Pelacur terhina).
Jam enam sore.

Maria Zaitun sampai ke kali.
Angin bertiup.
Matahari turun.
Haripun senja.
Dengan lega ia rebah di pinggir kali.
Ia basuh kaki, tangan, dan mukanya.
Lalu ia makan pelan-pelan.
Baru sedikit ia berhenti.
Badannya masih lemas
tapi nafsu makannya tak ada lagi.
Lalu ia minum air kali.
(Malaekat penjaga firdaus

tak kau rasakah bahwa senja telah tiba
angin turun dari gunung
dan hari merebahkan badannya?
Malaekat penjaga firdaus
dengan tegas mengusirku.
Bagai patung ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)
Jam tujuh. Dan malam tiba.

Serangga bersuiran.
Air kali terantuk batu-batu.
Pohon-pohon dan semak-semak di dua tepi kali nampak tenang
dan mengkilat di bawah sinar bulan.
Maria Zaitun tak takut lagi.
Ia teringat masa kanak-kanak dan remajanya.
Mandi di kali dengan ibunya.
Memanjat pohonan.
Dan memancing ikan dengan pacarnya.
Ia tak lagi merasa sepi.
Dan takutnya pergi.
Ia merasa bertemu sobat lama.
Tapi lalu ia pingin lebih jauh cerita tentang hidupnya.
Lantaran itu ia sadar lagi kegagalan hidupnya.
Ia jadi berduka.
Dan mengadu pada sobatnya
sembari menangis tersedu-sedu.
Ini tak baik buat penyakit jantungnya.
(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya dingin dan dengki.
Ia tak mau mendengar jawabku.
Ia tak mau melihat mataku.
Sia-sia mencoba bicara padanya.
Dengan angkuh ia berdiri.
Dan pedangnya menyala.)
Waktu. Bulan. Pohonan. Kali.

Borok. Sipilis. Perempuan.
Bagai kaca
kali memantul cahaya gemilang.
Rumput ilalang berkilatan.
Bulan.
Seorang lelaki datang di seberang kali.

Ia berseru: “Maria Zaitun, engkaukah itu?”
“Ya,” jawab Maria Zaitun keheranan.
Lelaki itu menyeberang kali.
Ia tegap dan elok wajahnya.
Rambutnya ikal dan matanya lebar.
Maria Zaitun berdebar hatinya.
Ia seperti pernah kenal lelaki itu.
Entah di mana.
Yang terang tidak di ranjang.
Itu sayang. Sebab ia suka lelaki seperti dia.
“Jadi kita ketemu di sini,” kata lelaki itu.
Maria Zaitun tak tahu apa jawabnya.
Sedang sementara ia keheranan
lelaki itu membungkuk mencium mulutnya.
Ia merasa seperti minum air kelapa.
Belum pernah ia merasa ciuman seperti itu.
Lalu lelaki itu membuka kutangnya.
Ia tak berdaya dan memang suka.
Ia menyerah.
Dengan mata terpejam
ia merasa berlayar
ke samudra yang belum pernah dikenalnya.
Dan setelah selesai
ia berkata kasmaran:
“Semula kusangka hanya impian
bahwa hal ini bisa kualami.
Semula tak berani kuharapkan
bahwa lelaki tampan seperti kau
bakal lewat dalam hidupku.”
Dengan penuh penghargaan lelaki itu memandang kepadanya.
Lalu tersenyum dengan hormat dan sabar.
“Siapakah namamu?” Maria Zaitun bertanya.
“Mempelai,” jawabnya.
“Lihatlah. Engkau melucu.”
Dan sambil berkata begitu
Maria Zaitun menciumi seluruh tubuh lelaki itu.
Tiba-tiba ia terhenti.
Ia jumpai bekas-bekas luka di tubuh pahlawannya.
Di lambung kiri.
Di dua tapak tangan.
Di dua tapak kaki.
Maria Zaitun pelan berkata:
“Aku tahu siapa kamu.”
Lalu menebak lelaki itu dengan pandang matanya.
Lelaki itu menganggukkan kepala: “Betul. Ya.”
(Malaekat penjaga firdaus

wajahnya jahat dan dengki
dengan pedang yang menyala
tak bisa apa-apa.
Dengan kaku ia beku.
Tak berani lagi menuding padaku.
Aku tak takut lagi.
Sepi dan duka telah sirna.
Sambil menari kumasuki taman firdaus
dan kumakan apel sepuasku.
Maria Zaitun namaku.
Pelacur dan pengantin adalah saya.)



  8. PUISI TERAKHIR WS RENDRA.
Aku lemas
Tapi berdaya
Aku tidak sambat rasa sakit
atau gatal
Aku pengin makan tajin

Aku tidak pernah sesak nafas
Tapi tubuhku tidak memuaskan
untuk punya posisi yang ideal dan wajar
Aku pengin membersihkan tubuhku

dari racun kimiawi
Aku ingin kembali pada jalan alam

Aku ingin meningkatkan pengabdian
kepada Allah
Tuhan, aku cinta padamu
Rendra

31 July 2009
Mitra Keluarga
Inilah puisi terakhir Rendra, yang dibuat pada 31 Juli di RS Mitra Keluarga Jakarta.

Artikel Terkait



Posting Komentar

Ruang Corat-coret......GRATIS!

Pengikut

  © ABUTIAR BLOG Copyright 2009

Back to TOP